Kedudukan Harta Jaminan Milik Pihak Ketiga Dalam Kepailitan
Pemberian Kredit adalah tulang punggung kegiatan Perbankan, baik Bank Konvensional maupun Bank Perekonomian Rakyat (BPR). Bila diperhatikan neraca Bank dengan seksama, akan terlihat bahwa sisi aktiva Bank akan didominasi oleh besarnya jumlah Kredit. Demikian juga pada sisi pendapatan Bank, akan ditemukan bahwa pendapatan terbesar Bank adalah dari Pendapatan Bunga dan Proporsi Kredit. Sebagai lembaga keuangan, pemberian Kredit oleh Bank tentunya sarat akan resiko, khususnya apabila terjadi gagal bayar hingga berujung pada Kredit Macet. Oleh karenanya, Bank tidak dapat mendasari pemberian Kredit kepada para Debitornya dengan mengandalkan keyakinan atas kemampuan Debitor untuk melunasi utangnya karena keyakinan bahwa Debitor akan melunasi pinjamannya adalah sesuatu yang abstrak dan tidak mempunyai nilai kebendaan, sehingga penilaiannya sangat subjektif. Disamping itu, mengingat bahwa dana yang dipergunakan oleh Bank untuk pemberian Kredit kepada Debitornya bersumber dari para Nasabah yang menabung di Bank, maka Bank sebagai Lembaga intermediasi memiliki pertanggungjawaban untuk melakukan pengelolaan terhadap Dana Nasabah yang dikelolanya. Untuk menanggapi hal tersebut, maka Bank memerlukan Jaminan Kebendaan berupa Agunan untuk mengamankan pemberian Kredit dari risiko gagal bayar yang berujung pada Kredit Macet.
Umumnya, harta yang dijaminkan dengan Jaminan Kebendaan oleh Debitor untuk pelunasan utangnya kepada Bank sebagai Kreditor adalah hartanya sendiri, namun pada praktiknya, tidak jarang ada Pihak Ketiga yang menjaminkan hartanya untuk pelunasan utang Debitor. Hal ini sering ditemukan pada Perusahaan-perusahaan rintisan atau Start-up maupun Perusahaan-perusahaan berskala kecil yang masih dikelola oleh keluarga yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Dalam hal ini, pihak Pemegang Saham atau Direktur PT tersebut menjaminkan harta pribadinya untuk pelunasan utang yang mengatasnamakan PT yang dimiliki atau dikelolanya, atau bahkan pihak-pihak tersebut juga mengikatkan pribadinya sebagai penjamin (Personal Guarantee / Borgtoch). Tidak hanya itu, dalam praktiknya, pihak keluarga dari Pemegang Saham atau Direktur suatu PT juga sering terlihat turut menjaminkan harta pribadinya untuk pelunasan utang PT. Oleh karena hal-hal tersebut di atas, tidak jarang suatu Perjanjian Pengikatan Jaminan sebagai Perjanjian Asesoir dari Perjanjian Utang-Piutang yang telah dibuat, justru melibatkan pihak Bank selaku Kreditor dengan pihak Pemilik Harta selaku pihak Penjamin. Sehingga apabila nantinya PT selaku Debitor wanprestasi terhadap kewajibannya kepada Bank sebagai Kreditor, maka Bank dapat melakukan upaya eksekusi terhadap harta-harta pihak Penjamin tersebut, baik secara Parate, Fiat, AYDA, Penjualan di bawah tangan, maupun cara-cara lainnya sesuai dengan hukum dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Kendatipun hal tersebut sejatinya memberikan perlindungan tambahan bagi Bank selaku Kreditor terhadap risiko gagal bayar, apabila PT selaku Debitor justru dinyatakan pailit maka hal tersebut akan memberikan tantangan yang baru bagi Bank. Hal ini disebabkan karena berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU), yang menjadi Harta Pailit adalah kekayaan Debitor itu sendiri. Mengingat bahwa Debitor merupakan Perseroan Terbatas, maka yang termasuk sebagai kekayaan Debitor akan mengacu pada ketentuan Penjelasan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan PERPU Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU PT). Adapun berdasarkan Penjelasan Pasal 102 UU PT, yang dimaksud dengan kekayaan perseroan adalah semua barang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, milik Perseroan. Dengan mengacu pada kedua ketentuan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa yang menjadi Harta PT sebagai Debitor Pailit adalah Harta yang memang dimiliki atau atas nama Perseroan itu sendiri. Sehingga dalam hal ini, harta-harta yang dijaminkan oleh Pihak Ketiga untuk pelunasan utang PT selaku Debitor yang telah dinyatakan Pailit tidak termasuk sebagai Harta Pailit dan tidak dapat dilakukan Pengurusan dan Pemberesan oleh Kurator. Akibatnya Bank harus melakukan upaya eksekusi yang terpisah terhadap harta yang dijaminkan oleh Pihak Ketiga, atau apabila Pihak Ketiga juga dinyatakan Pailit dalam Putusan dan proses Kepailitan yang terpisah dengan PT selaku Debitor, maka Bank juga harus mengikuti proses Kepailitan terhadap Pihak Ketiga dimaksud sesuai dengan UU Kepailitan dan PKPU. Hal ini tentu akan memakan banyak waktu dan biaya yang diperlukan bagi Bank selaku Kreditor untuk melakukan penyelesaian Kredit macet terhadap Debitor, terlebih lagi apabila Bank selaku Kreditor berkedudukan di daerah yang berbeda dengan Pengadilan Niaga.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, salah satu cara untuk dapat mengefisiensikan waktu dan biaya yang diperlukan oleh Bank, adalah dengan mengajukan Permohonan Pailit terhadap PT selaku Debitor sekaligus terhadap Pihak Ketiga sebagai penjamin perseorangan (Personal Guarantor / Borgtoch). Apabila PT selaku Debitor dan Pihak Ketiga sebagai penjamin perseorangan (Personal Guarantor / Borgtoch) dinyatakan Pailit, maka seluruh harta dari PT maupun Pihak Ketiga dimaksud akan menjadi Harta Pailit dan dapat dilakukan Pengurusan dan Pemberesan secara Bersama-sama oleh Kurator. Adapun untuk dapat mengajukan Permohonan Pailit terhadap PT selaku Debitor sekaligus terhadap Pihak Ketiga sebagai penjamin perseorangan (Personal Guarantor / Borgtoch) disaat yang bersamaan, maka kedua pihak tersebut harus terlebih dahulu memenuhi syarat Kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo. Pasal 8 UU Kepailitan dan PKPU, yaitu masing-masing pihak memiliki 2 (dua) atau lebih Kreditor, adanya salah satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, serta dapat dibuktikan secara sederhana.